Promosi Online Pertama

Promosi Online Pertama
PromotionCamp merupakan perusahaan promosi Online pertama di Indonesia.

Rabu, 06 Oktober 2010

Berangkat


Cerpen: Akhmad Sekhu


            Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh Jubedah ke sawah membawa serta Rara, anaknya yang semata wayang. Ibu-anak itu pergi kemana-mana selalu bersama-sama. Memetik melati di sawah bayarannya cukup lumayan, Jubedah bisa menghidupi Rara. Pekerjaan seperti itu memang lumayan untuk hidup sederhana di desa Jatibogor.
            Pada perjalanan pulang, Rara selalu mengambil arah yang lewat gedung sekolah dan Jubedah menurut saja dengan tetap mengiringinya. Seperti biasanya di sekolah dasar sudah riuh-rendah anak-anak sekolah yang ramai bermain di halaman. Beberapa saat, Rara menghentikan langkahnya lalu memandangi mereka dengan rasa iri.
            Sesampainya di rumah, Rara dengan rasa iri yang menghujam semakin menjadi-jadi, dan kini menancap pada hasrat diri ingin sekolah sebagaimana anak-anak sebaya dirinya yang disaksikannya di sekolah itu, karena tak terkendali hasratnya sehingga tumpah dengan serangkaian rengekan, “Mak, Rara ingin sekolah!”
            Jubedah pura-pura tidak mendengarnya, dan suara rengekan Rara itu pun diulang, “Maak, Rara ingin sekolahh!!”
            Jubedah masih saja membudekkan diri, dan rengekan Rara diulang lagi dengan nadanya kini lebih meninggi, “Maaak, Rara ingin sekolahhh!!!”
            Kali ini Jubedah tentu saja menyerah dengan tidak lagi membudekkan diri, dan kini mengharuskan diri pada situasi serba sulit, maka dipandanginya Rara dengan menderaskan penjelasan, “Iya, nanti kalau sudah tiba waktunya, Rara pasti sekolah.”
            “Aaah, kapan Mak?” tanya Rara melunjak manja.
            “Hei, jangan manja begitu!”
            “Pokoknya Rara ingin cepat sekolah!”
            “Iya-iya, sekolah!!” tegas Jubedah sontak dapat menghentikan rengekannya.
            “Benar ya, Mak, Rara sekolah?!” desak Rara untuk lebih menyakinkan dirinya, dan Jubedah menjawabnya cukup dengan anggukan kepala saja.
            Setelah merasa yakin benar, Rara serta-merta bersorak-sorai kegirangan, “Horeee, Rara sekolah! Rara sekolah! Sekolah!”
            ***
           
Besoknya, Jubedah berangkat ke sawah, tidak menggandeng tangan Rara melainkan menggedongnya agar bisa secepatnya sampai.
            “Jangan cepat-cepat jalannya, Mak!” suara Rara keras menghentak hentikan langkah Jubedah.
            “Rara ingin cepat sekolah, atau tidak?” tanya Jubedah menguji.
            “I-iya, Rara ingin cepat bisa sekolah, Mak,” jawab Rara tergagap.
            “Nah, kalau begitu Rara harus menurut!” tegas Jubedah, dan kemudian langsung menjelaskan,”Emak jalannya cepat-cepat, agar secepatnya sampai di sawah dan lebih banyak lagi memetik melati, itu artinya emak dapat duit banyak untuk bisa bayar biaya sekolah Rara nanti, mengerti?”
            Rara menurut saja, tidak lagi protas tapi hanya berdiam di gendongan. Emak yang menggendong anaknya itu kembali berjalan cepat setengah berlari hingga cepat dapat sampai di sawah melati. Begitulah, semangatnya sang emak demi menyekolahkan anaknya hingga tak terasa tubuhnya bersimbah keringat, dan kucuran keringat sempat muncrat tepat mengenai daun-daun bunga putri malu dan sontak menjadikan bunga itu menunduk setengah mendongak, seperti turut mendukung pada semangat kerja Jubedah.
            Di sawah melati, Jubedah langsung memetik melati walaupun hanya sendirian tapi beberapa saat kemudian para pemetik lainnya pun mulai berdatangan.
            Mereka tampak bersemangat memetik melati, tapi dari kesemua pemetik itu tampaknya Jubedahlah yang paling bersemangat demi mendapat uang banyak yang tentu saja buat membayar biaya sekolah Rara.
            Selesai pekerjaan memetik melati, Jubedah yang biasanya langsung pulang, tapi kini dia pindah ke sawah lain yang ditanami padi, di sana ada pekerjaan menyiangi padi yang dijalari rumput-rumput liar. Jubedah menyiangi padi, sedang Rara tampaknya kini dibiarkan bebas bermain kemana saja yang masih seputar daerah pesawahan, yang bagai permadani hijau raksasa begitu luas membentang sampai kaki Gunung Selamet. Ya, Rara jadi telantar juga, tapi ibu-anak itu tetap bisa pulang bersama menjelang maghrib tiba.
            Begitulah kini dan hari-hari selanjutnya Jubedah melakukan pekerjaan ganda, yaitu memetik melati dan menyiangi padi, sebuah tuntutan kerja lebih keras lagi demi mendapat duit sebanyak-banyaknya untuk bisa bayar biaya sekolah Rara, anak semata wayang yang begitu sangat disayang.
***
           
Sudah sekian waktu berselang, Jubedah membanting tulang dengan susah payah berusaha sekuat tenaga melakukan pekerjaan memetik melati dan menyiangi padi, kini tabungannya pun cukup banyak menumpuk. Jubedah bisa membeli seperangkat bekal kebutuhan Rara sekolah, seperti pakaian seragam, tas dan sepatu, walaupun berangkat sekolah waktunya masih lama, sekitar seminggu lagi.
Sendirian Jubedah pergi ke pasar masuk ke dalam hiruk-pikuk keramaian aktifitas jual-beli dan sebentar kemudian keluar dengan membawa seperangkat bekal kebutuhan sekolah itu. Pulang dari pasar, Jubedah mendapati Rara masih tidur pulas tapi langsung segera dibangunkannya.
            “Horeee, Emak bawa oleh-oleh!” sorak Rara begitu bangun tidur.
            “Nah, semua ini untuk kebutuhan Rara sekolah!” jelas Jubedah memperlihatkan seragam sekolah, tas dan sepatu yang dibawanya itu.
            “Langsung dicoba ya Mak?”
            “Iya, cobalah, pasti pas untukmu, Nduk!”
            Rara langsung mengenakan seragam sekolah, sepatu, dan mencangklong tas baru, betapa gembira dengan bergaya lagaknya seperti sudah jadi anak sekolah saja, sebagaimana gaya Sherina sekolah dalam film Petualangan Sherina.
            “Hore, horee, horeee…,” sorak Rara melonjak-lonjak kegirangan, “Lihat, Mak, Rara berangkat sekolah! Rara berangkat! Berangkat…”
            Memperhatikan Rara tampak begitu kegirangan itu, Jubedah sangat terharu, betapa dia merasa mampu menyekolahkan Rara.
***
           
Waktu yang lama ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga kini tiba saatnya Rara akan sekolah, Jubedah tersentak dari bangun tidur mengingatnya, tapi tiba-tiba menyeruak dibenaknya ada firasat tidak baik dengan sayup-sayup mendengar teriakan burung gagak seperti mengisyaratkan sesuatu. Semestinya dia bahagia karena waktu berangkat sekolah Rara sudah tiba, tapi teriakan gagak yang semakin kencang menggelisahkannya, entah, ada apa gerangan?
            Jubedah pun kemudian buru-buru membangunkan Rara, tapi ternyata Rara tidak bangun. Kembali dilakukan usaha membangunkan Rara, tapi hasilnya tetap nihil. Jubedah kemudian mengoyang-goyangkan tubuh mungil itu, tapi tetap tidak bergerak.
            Nduk, bangunlah! Kau hari ini harus siap-siap berangkat sekolah!” perintah Jubedah, tapi Rara tetap saja tidak bergerak, apalagi bangun.
            Jubedah mulai meraba dada Rara dan tidak ada detak jantungnya sehingga membuat Jubedah panik, betapa firasat tidak baik itu mulai terbukti.
            Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun…..” sebut Jubedah dengan suara bergetar setelah yakin anaknya itu meninggal dunia, dan kontan mendadak dirinya menjerit histeris, “Tolong! Toloong!! Tolooonggg!!!”
            Jeritan histeris membuat tetangga sekitar berdatangan, dan mendapati Jubedah kini meratap pilu di depan Rara, anaknya yang sudah tidak bernyawa lagi. Jubedah hanya bisa menangis setiap melihat seperangkat bekal kebutuhan sekolah Rara itu, betapa terasa masih terngiang-ngiang suara Rara bersorak-sorak, ”Lihat, Mak, Rara akan berangkat sekolah! Rara berangkat! Berangkat…” 

Desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 2001 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar