Promosi Online Pertama

Promosi Online Pertama
PromotionCamp merupakan perusahaan promosi Online pertama di Indonesia.

Rabu, 06 Oktober 2010

Mengangkat Harkat Pahlawan Perempuan


Judul Novel     : Perempuan Keumala
Penulis             : Endang Moerdopo
Penerbit           : Grasindo, Jakarta
Cetakan           : September 2008
Tebal               : 350 halaman
Harga              : Rp. 60.000,-
           
Hari Pahlawan selalu kita peringati pada setiap 10 November, apa yang kita berikan pada para pejuang selain menghargai jasa-jasa perjuangannya? Sebuah novel berjudul “Perempuan Keumala” (PK) adalah salah satu bentuk untuk menghargai pejuang yang terlupakan karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.   

Novel yang ditulis Endang Moerdopo ini menceritakan tentang Laksamana Malahayati, seorang perempuan pejuang dari Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang menjadi laksamana laut pertama di Indonesia, bahkan pertama di dunia. Ia memimpin para perempuan yang senasib dengan dirinya, yaitu pasukan para janda perang yang diberi nama Inong Balee. Bahkan ia berani bertarung satu lawan satu dengan pemimpin pencari rempah dari Belanda, yaitu Cornelius de Houtman, dan yang lebih membanggakan lagi ia memenangkan pertarungan tersebut.

Novel ini memukau, justru karena tidak sekedar silau pada masa lampau, melainkan dengan elok dan empati yang menyentuh perempuan pahlawan Aceh secara utuh. Di tengah maraknya novel yang masih bengal dengan kisah cinta-cintaan, PK, membuktikan perempuan lebih sadar akan pilihan hidupnya. Pandangan Arswendo Atmowiloto mengenai novel ini memang benar adanya.

Kita patut menghargai usaha Endang Moerdopo yang telah meramu fakta yang selama ini terpendam menjadi novel sejarah. Sebuah pilihan yang sangat tepat. Mengingat minat baca masyarakat kita belum optimal, apalagi kalau harus membaca buku tentang sejarah. Oleh karena itu, novel sejarah menjadi pilihan yang sangat tepat agar masyarakat mau membacanya.  
***

Novel ini terbagi dalam tiga belas bab mengisahkan perjuangan Laksamana Malahayati, tapi dimulai dengan prolog tentang kisah unik, yaitu cerita Hira dirawat di rumah sakit Malahayati, yang dianggap Watan, temannya, sebagai sebuah kebetulan karena Hira sangat mengagumi perempuan pahlawan Aceh itu. Justru karena dirawat di rumah sakit itulah Hira sampai “didatangi” Malahayati yang memberinya semangat untuk berjuang agar negeri ini jaya kembali.

Uniknya lagi novel ini ditulis dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun, selama Endang Moerdopo, penulis novel, bertugas sekaligus membuat tesis untuk S-2-nya di UI yang mengambil tema seputar trauma pascabencana tsunami di Aceh. Dengan demikian sang penulis novel mengisahkan perjuangan Laksamana Malahayati dengan dimulai dari tokoh rekaan bernama Hira yang mewakili dirinya.

Setelah prolog, kemudian barulah mengalir cerita-cerita tentang perjuangan Laksamana Malahayati, mulai dari bab pertama, yaitu tentang pendidikan militer Ma’had Baitul Maqdis di Kutaraja, tempat Malahayati digodok menjadi perwira bahari untuk menjunjung tinggi dan melanjutkan nama besar nenek moyang, Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam. Lokasinya tidak terlalu jauh dari istana yang pada masa itu di bawah pimpinan Baginda Sultan Mansur Syah yang terkenal sebagai orang yang alim, saleh, adil, dan sangat keras. Kerajaan Aceh Darussalam hingga masa Keumalahayati yang pada waktu itu bernama Darud Donya.

Kemudian, cerita tentang pernikahan Keumala dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. Keumala, selain sebagai istri panglima Armada Selat Malaka, ia sendiri menjabat sebagai Komandan Protokol Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam. Tugasnya mengatur seluruh kegiatan yang akan dilakukan oleh Yang Mulia Baginda Sultan dan petinggi-petingginya.

Setelah itu, ia menjabat sebagai kepala pengaman samudra, sebuah jabatan yang diraihnya karena ia berhasil menumpas para perompak laut. Tiga ribu pasukan perwira laut berada di bawah komandonya dari sepuluh ribu bala tentara Kerajaan Darud Donya yang terkenal kuat kemiliterannya. Setelah sang suami meninggal ketika melawan Juan Carlo Haerere, orang Portugis, ia menjabat sebagai panglima Armada Selat Malaka.

Ada cerita tentang mantra Tapak Tuan, tentang Armada Inong Balee, tentang Benteng Inong Balee di Krueng Rayeuk, sampai tentang peristiwa yang sangat mendebarkan, yaitu pertempuran antara Laksamana Malahayati dengan Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang menemukan jalur rempah-rempah dari Eropa ke Indonesia. Pertempuran yang dimenangkan oleh sang laksamana, betapa tragis seorang Cornelis mati di tangan perempuan Aceh, laksamana perempuan pertama di dunia. Sungguh sebuah kebanggaan bagi bangsa Indonesia.

Novel ini ditutup dengan epilog yang kisah ceritanya meloncat pada peristiwa di jaman kemerdekaan yang sekarang dengan kisah kegetiran di Bukit Malahayati, yaitu runtuhnya benteng Inong Balee. Kejayaan lama telah pudar dan musnah ditelan masa, tanpa ada satu pun yang merasa perlu untuk menjadikannya pernah ada. Juga, makam Laksamana Malahayati yang porak-poranda  dan sama sekali tak terawat.
***

Tampaknya novel ini sad ending, tapi bukan karena kematian Laksamana Malahayati, melainkan keadaan sekarang yang begitu sangat memprihatinkan karena tidak ada yang menghiraukan setelah kematian Laksamana, sang pejuang.

Meski demikian, ternyata masih ada secercah harapan dengan kisah mengharukan tentang sang laksamana “bangkit” memberi motivasi pada Hira untuk semangat, bahkan mengusap kening perempuan itu dan membisikkan sesuatu: “Tinggal kubur kini hening, sepi menanti/ Langkah-langkah baru tunas pengganti/ Hai Inong Nanggroe, bangkit berdiri/ Di tanganmu kini jiwa ANEUK NEGERI.”

Sebuah kisah akhir dari novel yang getir, tapi dengan kisah kegetiran ini diharapkan terketuk hati kita untuk menghargai pejuang yang selama ini terlupakan karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.  

(Sinar Harapan, 22 November 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar