Promosi Online Pertama

Promosi Online Pertama
PromotionCamp merupakan perusahaan promosi Online pertama di Indonesia.

Rabu, 06 Oktober 2010

Seputar Istilah Arsitektur

Akhmad Sekhu*

Dalam sebuah acara seminar arsitektur, ketua Ikatan Arstek Indonesia (IAI) Pusat Budi A. Sukada, ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Pusat, mengutarakan protes. Ia mendengar seorang pembawa acara yang mengucapkan organisasi dipimpinnya itu dengan nama: Ikatan Arsitektur Indonesia.  Sang ketua menjelaskan bahwa terminologi yang benar adalah Ikatan Arsitek Indonesia karena yang diikat dalam organisasi tersebut adalah orangnya, profesinya, yaitu arsitek. Bukan arsitektur karena arsitektur itu adalah benda sebagai hasil karya dari arsitek. Arsitektur adalah seni dan ilmu merancang serta membuat kontruksi bangunan, atau arsitek itu metode dan gaya rancangan sebuah konstruksi bangunan. Konon, katanya, kasus kesalahan pengucapannya ini berulang kali sering terjadi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih rendah tingkat kesadaran dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Singkatan organisasi-organisasi ikatan profesi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bukan Ikatan Kedokteran Indonesia; Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) bukan Ikatan Akuntansi Indonesia; Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) bukan Ikatan Advokasi Indonesia. Lain konteksnya kalau singkatan organisasi-organisasi kesarjanaan pada ilmu-ilmu tertentu, seperti misalnya Ikatan Sastra Ekonomi Indonesia (ISEI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia (ISOI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), maupun Ikatan Sarjana Sastra Indonesia (ISSI).
Di surat kabar terbitan ibu kota pada beberapa tahun lalu, saya membaca tentang adanya seorang selebriti cilik yang baru “naik daun” yang ditanya wartawan tentang apa cita-citanya. Jawabannya adalah: menjadi arsitektur.  Mengapa masyarakat kita sering salah ucap dalam mengucapkan istilah keilmuan?  Dan kenapa sang wartawan yang menulis berita itu tidak menyunting kesalahan pengucapan narasumbernya? Mungkin sang selebriti cilik menjawab bercita-cita ingin jadi arsitektur, karena mendengar nama-nama profesi seperti direktur, inspektur, kondektur, yang semuanya berakhiran tur menunjukkan bahwa itu orangnya, profesinya. Tapi ia tidak tahu kalau arsitektur itu “benda” hasil karya dari sang arsitek.
Sebenarnya, mendiang  YB. Mangunwijaya pernah mengingatkan kita tentang istilah arsitektur yang berasal dari bahasa Yunani mempunyai arti terbatas, yaitu terdiri dari kata “arkhe” yang berarti asli, awal, utama, otentik; dan kata “tektoon” yang berarti berdiri stabil, kokoh, stabil, statis; sehingga “arkhitekton” berarti pembangunan utama, tukang ahli bangunan. Kemudian, istilah arsitektur dihadapkan dengan istilah wastu yang artinya lebih luas lagi. Wastu yang berasal dari kata vasthu dari bahasa Sanskerta itu diartikan norma, tata bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang berbentuk jadi punya arti luas dan komprehensip. Istilah wastu datang dari dalam, dari inti, jati diri, sikap hidup, bahkan bisa dikatakan sebagai kebudayaan bangsa. Peringatan Romo Mangun ini disampaikan lewat makalahnya berjudul “Salah Satu Konsepsi Arsitektur Indonesia” yang disajikan dalam Kongres Nasional II IKatan Arsitek Indonesia di Yogyakarta, pada tanggal 2 Desember 1982.
Tapi kita tampaknya lebih suka menyebut arsitektur. Itu berarti istilah tersebut seragam di seluruh dunia. Kalimat “arsitek menghasilkan karya rancangan arsitektur”, sesungguhnya bisa diganti menjadi “seorang wastuwidyawan menghasilkan karya rancangan wastu”.  Kalau saja kita mengikuti anjuran  Romo Mangun untuk memakai istilah “wastu” tentu kita akan memiliki ciri khas bahasanya sendiri.
            Apalagi tak ada yang mewajibkan bahwa sebuah istilah harus seragam di seluruh dunia. Istilah lokal justru akan memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Jika kita sepakat dengan sama Romo Mangun untuk menggunakan sebutan wastuwidyawan, tentu tidak membuat masyarakat salah ucap.

*alumnus Jurusan Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta

(Rubrik Bahasa, Majalah Tempo, Edisi 23-29 Maret 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar