Promosi Online Pertama

Promosi Online Pertama
PromotionCamp merupakan perusahaan promosi Online pertama di Indonesia.

Kamis, 21 Oktober 2010

Nasib Penulis Buku di Indonesia

by Rihat Hutagalung on Sunday, October 17, 2010 at 7:57am
 
Kompas minggu tgl 5 September 2010 menampilkan sosok penulis dan kritikus sastra Indonesia, Prof.Drs. Jakob Sumardjo. Dalam tulisan itu dipaparkan bagaimana beliau yang telah puluhan tahun menulis buku hampir-hampir tidak mendapat royalty apa-apa dari buku -buku yang ditulisnya. Sering kali dia mendapatkan bayaran hanya bila diminta ke penerbit dan itupun hanya dalam jumlah yang kecil saja. Selain Jacob, pengarang NH Dini juga pernah mengeluhkan kecilnya royalty yang didapatnya dari sekian banyak bukunya sehingga untuk biaya berobatpun harus minta bantuan teman-temannya. Hal ini tentu berbeda sekali dengan para pengarang di luar negeri yang bisa hidup mapan hanya dari menulis buku.

Persoalan yang dihadapi penulis Indonesia sangatlah beragam. Pertama, kecilnya persentase penghasilan yang didapat penulis dari buku yang ditulisnya ,yaitu hanya sekitar 10% dari harga jual buku. Katakan seorang penulis yang menulis buku dengan oplah sekitar 3000 eksemplar dengan harga Rp 50.000,-, dengan royalty 10% akan mendapatkan sekitar Rp 15 juta. Namun pembayarannya adalah berdasarkan jumlah buku yang terjual sehingga jumlah yang diterima untuk periode tertentu pastilah sangat kecil hingga buku terjual habis. Sementara penerbit sekaligus menjadi toko buku akan mendapatkan 90% dari harga jual ,yaitu total sekitar Rp 135 juta bila semua buku terjual.Itu baru dari satu buku.

Kedua, tingkat pembajakan di Indonesia yang masih tinggi ,khususnya buku-buku yang popular dan buku wajib, membuat jumlah buku resmi yang terjual menjadi sedikit. Otomatis royalty yang diterima oleh penulis pun akan ikut merosot. Pengarang buku laris “Laskar Pelangi” Andrea Hirata pun mengakui betapa masifnya pembajakan buku yang ditulisnya sehingga hatinya miris saat melihat buku yang hendak ditandatanganinya saat peluncuran adalah buku bajakan.

Ketiga, tingkat kebutuhan membeli buku masyarakat Indonesia belum cukup besar. Dampaknya adalah pada rendahnya oplah setiap buku yang dicetak. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa, jumlah tiras tertinggi katakan sekitar 5000 eksemplar tentu tergolong kecil. Namun penyebabnya bisa juga diakibatkan tingginya harga buku,sementara jumlah buku yang dibutuhkan bukan hanya satu buku..

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi penulis Indonesia , ada beberapa alternative solusi yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah harus menetapkan persentase minimal yang menjadi hak penulis, misalnya 30% dari harga buku. Dengan penetapan persentase minimal tersebut, penulis akan terlindung dan terjamin hak-haknya dan bisa menutup biaya yang telah dikeluarkan selama proses penulisan buku tersebut maupun biaya penulisan buku selanjutnya.

Kedua, Pemerintah harus secara proaktif memberantas praktek pembajakan buku. Tindakan konkrit antara lain berupa undang-undang yang menetapkan hukuman penjara berat untuk pelaku dan pengedar buku bajakan. Selama ini terlihat bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum seperti tutup mata dengan kondisi yang ada. Terbukti dengan penjualan buku-buku bajakan secara bebas di beberapa tempat penjualan buku. Selain itu, pemerintah dan asosiasi penerbit perlu mengkampanyekan anti buku bajakan kepada masyarakat khususnya siswa seolah dengan menjelaskan tujuan kampanye tersebut.

Ketiga, penerbit dan pemerintah harus berupaya menurunkan harga buku untuk menghindari praktek pembajakan dan sekaligus menaikkan oplah buku yang dicetak. Upaya menurunkan biaya produksi buku bisa disiasati dengan menampilkan iklan yang sesuai dengan isi buku tersebut. Namun perusahaan mau membayar iklan umumnya jika tiras buku dalam jumlah yang tinggi. Dengan harga buku yang lebih murah berkat subsidi iklan, akan lebih mudah manikkan jumlah oplah buku sehingga lebih banyak masyarakat yang mampu membeli buku tersebut.

Keempat, para penulis sudah saatnya tidak terlalu bergantung dengan penerbit dan toko-toko buku besar. Maraknya percetakan dengan biaya murah telah memungkinkan pengarang untuk menerbitkan sendiri buku-bukunya (Self Publishing). Untuk pemasaran bisa dilakukan secara langsung melalui internet. Beberapa pengarang seperti Sapardi Djoko Damono dan Dewi Lestari telah mulai menerbitkan sendiri bukunya dan menjualnya melalui internet. Para penerbit besar juga sebenarnya sudah mulai melakukan penjualan online lewat internet.

Kemajuan suatu bangsa antara lain ditandai seberapa banyak buku-buku yang diterbitkan Negara tersebut. Kontinuitas penulisan buku-buku bermutu yang mencerdaskan anak bangsa tidak terlepas dari tingkat kesejahteraan para penulis buku tersebut sehingga mereka bisa fokus dan mampu membiayai kehidupannya sehari-hari maupun untuk penelitian buku-bukunya selanjutnya. Pemerintah, asosiasi penerbit dan penegak hukum wajib berperan serta sesuai fungsinya untuk mengangkat derajat para penulis yang selama ini terabaikan. Penulis atau pengarang adalah inti (Core) dari industri buku itu sendiri yang ditopang oleh penerbit dan jaringan toko buku. Tanpa penulis, tidak akan ada ilmu atau buku yang dicetak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar