Promosi Online Pertama

Promosi Online Pertama
PromotionCamp merupakan perusahaan promosi Online pertama di Indonesia.

Jumat, 01 Oktober 2010

Jejak Pemikiran Kritis Sang Kiai Selebritis


Judul Buku      : Jejak Tinju Pak Kiai
Penulis            : Emha Ainun Nadjib
Penerbit          : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan          : September 2008
Tebal              : xiii + 240 halaman

Emha Ainun Nadjib adalah sebuah fenomena. Tak ada orang Indonesia yang sefleksibel pemikiran dirinya yang bisa masuk ke berbagai ranah kehidupan sosial, budaya, politik, keagamaan, bahkan dunia selebriti. Istrinya, Novia Kolopaking adalah penyanyi dan artis sinetron. Begitu juga dengan anaknya, Sabrang yang akrab dipanggil Noe adalah vokalis group band Letto, yang demikian inilah seluruh anggota keluarganya masuk dalam dunia selebriti sehingga tampaknya semakin memperkokoh predikat yang melekat pada dirinya sebagai seorang kiai selebritis.

Adapun Cak Nun, demikian sapaan akrabnya, kini tetap giat dalam berbagai acara rutin yang diasuhnya, yaitu Padang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Obor Ilahi (Malang). Bahkan bersama group musik Kiai Kanjeng yang didirikannya, ia kerap diundang ke berbagai Negara, di antaranya tur enam kota di Mesir, tur di Negara Jiran Malaysia, hingga rangkaian tur keliling di benua Eropa, seperti Inggris, Jerman, skotlandia, dan Italia. Akhir 2006 lalu, serangkaian perjalanan di Finlandia dalam acara Amazing Asia dan Culture Forums atas undangan Union for Christian Culture.  

Adalah sebuah buku berjudul “Jejak Tinju Pak Kiai” menghimpun kumpulan tulisan Emha Ainun Nadjib yang tersebar di berbagai media massa. Dalam buku ini Emha menuliskan kegelisahannya soal reog, batik, lagu Rasa Sayange yang diakui sebagai kebudayaan Malaysia. Bagaimana kalau kita menyikapi hal ini? Tidak hanya itu saja—Emha yang sangat peduli dengan rakyat kecil—gelisah dengan Pasar Turi di Surabaya, gelisah dengan nasib TKI di Malaysia, gelisah dengan masalah Lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Bahkan kegelisahannya bertambah soal Pilkada yang cenderung kisruh di berbagai daerah. Serta tulisan lain seperti Austranesia, Pecel Suriname, Buto Kempung, Tanah Halal Air Halal, Mudik Keluarga Mudik Bangsa, dan sebagainya.
***

Adapun buku setebal 240 halaman ini terbagi dalam enam bagian, yaitu bagian pertama, Manunggaling Kawula lan Gusti, seperti misalnya ada bagian yang menyoroti tentang keadaan Indonesia yang kacau dengan berbagai terminologi hingga pada sebuah peristiwa pingsannya pak kiai akibat menonton tinju; tentang kesabaran orang-orang kampung; hingga tentang pilkada. Bagian kedua, Gondes, Bleksor, dan Buto Kampung, menyoroti tentang pemakaian bahasa Indonesia yang baik, yang benar, dan yang enak; tentang narkoba; tentang pengemis; hingga tentang konflik partai.  

Pada bagian ketiga, Makhluk Halal, Makhluk Haram, tentang kritisi Cak Nun terhadap makna tanah air; terhadap institusi negara; tentang bernegara dan beragama, hingga mempertanyakan tentang nasionalisme 2009. Bagian keempat, “Nyunggi Wakul”, tentang pembahasan mengenai Daerah Istimewa Surabaya; dan kemudian dibahas secara lebih tuntas lagi tentang mensurabayakan Surabaya; setelah itu tentang kepeduliannya masalah Pasar Turi; Gerakan Majnun Internasional; hingga menghadirkan tentang adanya Jaringan Mahasiswa Revolusioner Indonesia Baru. 

Bagian kelima, “Indon”, dan Reog Malaysia, menyoroti tentang tragedi Kasan-Kusen, cucu Nabi Muhammad yang meninggal begitu amat sangat tragis dengan kepala dipenggal; tentang Irak-Amerika; tentang Austranesia, sebuah wacana penggabungan dua negara bertetangga yaitu antara Australia dengan Indonesia, yang selalu timbul bertentangan untuk saling bermesraan; tentang Malaysia yang membuat masyarakat seluruh Indonesia marah karena kasus pengakuan reog, batik, lagu Rasa Sayange, tapi hanya dirinya yang seperti memaklumi tapi tentu dalam kerangka sebuah kritik untuk hubungan kedua negara yang bertetangga tetap terjalin baik.   

Terakhir, bagian keenam, Ijtihad, Ittiba, Taqlid, yaitu dimulai dari pembahasan Cak Nun tentang nabi yang pernah membakar masjid akibat ulah oknum takmir masjid sehingga membuat masjid itu lebih menimbulkan mudarat lebih besar dibanding manfaat; tentang kritik terhadap departemen agama; tentang perbedaan berbagai ormas islam dalam menentukan waktu Hari Raya yang kontroversial tapi dirinya justru menginginkan semoga perbedaan itu sepanjang masa; tentang puasa; tentang mudik, sampai pembahasan tentang “Islamic Valentine Day,” sebuah istilah dari Cak Nun yang ngawur bila ditinjau dari sudut apa pun, bahkan Valentine Day perayaannya selalu kontroversial, tapi tampaknya di sini ada itikad baik tentang cinta dan kemanusiaan.
***

Akhirnya dapat kita menyimpulkan keseluruhan tulisan dalam buku ini bermuara pada bagaimana perlunya bersikap arif dan melatih kesabaran, perlunya menjadi makhluk wajib yang berguna bagi sesama, meninggalkan kesombongan, fanatisme berlebihan, serta mencanangkan rasa nasionalisme. Namun demikian, dalam memandang berbagai persoalan, Cak Nun tidak terkesan menggurui, justru memberikan solusi dan daya tambah untuk melapangkan dada dan membeningkan hati dan pikiran.

Meski tampaknya tak seorang pun yang dapat memahami pemikiran Cak Nun selain H. Halimah, ibunya, satu-satunya orang yang mengajarinya membaca al-Quran. Karena Cak Nun kecil tak mau diajari qira’at oleh siapapun, kecuali oleh ibunya sendiri. Tapi lewat buku ini, kita akan mendapatkan titik terang penelusuran panjang mengenai jejak pemikiran kritis sang kiai selebritis.

(Koran Tempo, 2 November 2008)    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar