Promosi Online Pertama

Promosi Online Pertama
PromotionCamp merupakan perusahaan promosi Online pertama di Indonesia.

Jumat, 01 Oktober 2010

Mempertahankan Nilai Kemanusiaan dalam Penderitaan


Judul Buku      : Merajut Harkat
Penulis             : Putu Oka Sukanta
Penerbit           : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan           : Agustus 1999
Tebal               : xxvi + 568 halaman

BAGAIMANA kalau Anda atau saya masih seperti di zaman Orde Baru (atau masih dibayangi) sehingga suatu hari tanpa tahu kenapa tiba-tiba dicap semacam istilah-istilah “gerombolan pengacau keamanan” atau “kelompok subversif”. Lalu tanpa perlindungan hukum dan tanpa daya, diculik, diseret bagai binatang ke tahanan, disiksa serta dipaksa mengakui hal-hal yang tidak pernah Anda lakukan atau pahami? Di tahanan itu Anda atau saya tak tahu apa yang akan terjadi esok hari, apakah akan dibunuh, disiksa lagi, atau dibiarkan hidup dengan perut lapar, dengan rongrongan berbagai penyakit menular tanpa obat, tanpa perhatian, tanpa harga diri, martabatnya kemanusiaannya ditiadakan.

Bayangan tentang hal-hal seperti itulah kira-kira yang dapat kita temui dalam novel Merajut Harkat. Judul dalam sampul buku itu pun tampak huruf kecil semua dan terlihat kurus-kurus, mungkin dimaksudkan sebagai gambaran “tersiksa”-nya tokoh atau pesan dalam cerita itu.

Karya Putu Oka Sukanta tersebut merupakan hasil perenungan dan pengendapan selama dua puluh tahun, dan kiranya tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidup penulisnya yang sempat menjadi tapol (tahanan politik) selama 10 tahun (1966-1976) di Penjara Salemba dan Tangerang, tanpa pernah diadili.

Novel ini punya kelebihan khas. Pertama, karya ini sudah menunjukkan kepada kita sosok manusiawi seorang tapol yang mampu mempertahankan kemanusiaan dalam penderitaan. Kedua, sebagai novel yang berlatar belakang sejarah, menjadi sangat bernilai karena memberikan interpretasi dan perspektif alternatif terhadap apa yang terjadi/ dialami.

Ketiga, membaca novel ini kita bisa mengenali diri kita sendiri sebagai bangsa. Apakah kita bangsa yang beradab, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan? Lagi pula pengakuan korban penculikan Pius Lustrilanang dan orang-orang yang “hilang” tahun 1990-an, menunjukkan bahwa novel Merajut Harkat yang “menggambarkan” apa yang terjadi tahun 1960-an, ternyata masih relevan sampai sekarang.
***  

NOVEL ini terbagi dalam lima bagian, yaitu Mengenali Jejak, Menatap Arah, Bersua dan Bersulang, Ning, dan Nyawa Sisa. Pada bagian awal, tokoh utama Mawa menonton film di bioskop dengan Nio. Mereka tiba-tiba pikirannya tegang penuh kekhawatiran, karena di situ mengenali seseorang yang dianggap membahayakan dirinya. “Hati-hati,” kata orang itu sebagai peringatan, atau mungkin malah ancaman.

Dari situlah kemudian menjadi berlanjut ketika sepulang menonton, bencana dimulai yakni pintu rumahnya digedor, kemudian digeledah, lalu ia diangkut. Ternyata ia dibawa ke barak, dan menjadi seorang tahanan.

Pada bagian Menatap Arah, kisah Mawa yang dikurung dalam penjara seperti binatang dalam karantina. Kisah-kisahnya dibangun penuh nuansa puitis dengan adanya kehadiran tokoh penyair yaitu HR. Banharo yang dijumpai di penjara. Pada bagian Bersua dan Bersulang, kisah persahabatan Mawa dengan tahanan-tahanan lainnya. Masih bernuansa puitis dengan bertambah lagi kehadiran penyair bernama Mirsan.

Pada bagian Ning, Mawa berada di Blok N, blok kerangkeng singa. Ia masuk digiring oleh seorang hansip dan serdadu serta tahanan yang membawa kunci sel. Di sini ia merasakan masuk ke dalam suatu dunia baru, yaitu dunia Ning.

Pada bagian akhir, yakni Nyawa Sisa, Mawa merasakan bahwa sepi di luar sel, sepi juga di dalam dirinya. Kemudian roh Mawa seperti lepas dari raga yang bergentayangan masuk ke orang-orang pasar, tukang becak, dan terakhir seorang polisi, dengan sempat menyapa serdadu tahanan yang lewat dan ia pun tersenyum. Ya, ia tersenyum terus sambil memanjat langit, menunggang mega dihembus angin.
***

SALAH satu adegan yang menyentuh dalam novel ini terjadi ketika para tapol yang ditangkap itu dengan penuh tanda Tanya besar mempersoalkan apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Ya, tak ada yang dapat memberikan penjelasan terhadap suatu tragedy tersebut. Masih menjadi kontroversial? Mungkin!

Di antara ungkapan-ungkapan tahanan yang cenderung melampiaskan bahasa jorok dengan vulgar, diungkapkan dalam novel ini. Juga ditampilkan kerapuhan hidupnya, kerinduannya dan sewaktu-waktu nyali kehidupannya yang begitu sulit dipahami. Bisa diibaratkan sebagai lilin yang kena terpaan angina, yang sudah tampak padam dengan sendirinya.

Ada lagi adegan yang sangat ironis, ketika seorang pemuda tapol dengan penuh semangat dan tekad menggebu-gebu menyatakan ingin bergabung jadi anggota sebuah organisasi tersebut justru karena sudah dinyatakan bubar oleh pemerintah. Pemuda itu mendapatkan bahwa rekan yang berasal dari organisasi tersebut lebih bersikap manusiawi disbandingkan dengan sesama tapol lain. Sebuah simpatik yang sangat simpatik. Hal-hal seperti itulah yang sering ditonjolkan dalam novel Oka ini.
***

MEMBACA novel ini, terasa dengan jelas, realistis, digambarkan manusia yang terkoyak oleh tekanan kekuasaan dan penderitaan, saling mencurigai, bahkan terkadang mengkhianati dan memangsa yang lain. Di pihak lain digambarkan pula manusia-manusia yang sanggup mempertahankan nilai kemanusiaannya dalam penderitaan, dan mampu memberi uluran tangan pada yang lain di saat ia sendiri dalam keadaan sekarat.

Ditulis selama dua puluh tahun, novel ini memang terasa tidak terjalin oleh suatu mood yang utuh. Terkadang narasinya diolah dengan puitis yang juga begitu reflektif. Sedangkan diksi dan pengkalimatan narasinya seringkali seperti transkripsi lisan (bahasa tutur) yang belum tersentuh pengolahan estetis.

Membaca buku ini, hendaknya tak usah menusukkan dendam ke dalam hati. Tetapi justru harus membuat pikiran tambah bening, bahwa kekerasan bukanlah cara pemecahan persoalan. ■

(Kompas, 31 Oktober 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar