Promosi Online Pertama

Promosi Online Pertama
PromotionCamp merupakan perusahaan promosi Online pertama di Indonesia.

Jumat, 01 Oktober 2010

Pencarian “Arsitektur Indonesia,” Perjalanan Arsitektur Dunia


Judul Buku      :
Mencari Arsitektur Sebuah Bangsa;
Sebuah Kisah Indonesia
Penulis             : M. Nanda Widyarta
Penerbit           :
Wastu Lanas Grafika, Jakarta
Cetakan           : Pertama, September 2007
Tebal               : 82 halaman
           
Bagaimana mendefinisikan jati diri nasional melalui arsitektur? Sebuah fenomena yang tampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara, seperti yang pernah diungkap Lawrence J. Vale dalam bukunya: Architecture, Power, and National Identuty (1992). Sebuah hal yang jadi awal pembahasan dalam buku berjudul “Mencari Arsitektur sebuah Bangsa; sebuah Kisah Indonesia” (MABKI) yang ditulis    M. Nanda Widyarta (MNW).

Menarik kutipan tulisan Josef Prijotomo dalam prolog MABKI: “Arsitektur (di) Indonesia dari awal abad 20 hingga era Orde Baru menempuh perjalanan bagaikan air yang mengalir dari hulu sungai ke hilirnya.” Demikian juga disampaikan Abidin Kusno dalam epilog-nya, yang menilai MNW berupaya menempatkan arsitektur Indonesia dalam perjalanan arsitektur dunia karena arsitektur Indonesia sebenarnya juga sebagai bentukan dari arsitektur dunia.

Buku ini terdiri dari empat bab, yaitu bab pertama, Romantisisme-Historisisme dan sebuah Hasrat akan adanya suatu Budaya Bangsa, tentang ideologi nasionlisme dan efeknya terhadap pencarian arsitektural. Bab kedua, Usaha Awal dalam Pencarian Arsitektur sebuah Bangsa, yang dimulai dengan dictum Victor Hugo, bahwa “pada arsitektur sebuah bangsa, tertulislah kiSah bangsa itu,” sampai pidato Soekarno di bulan Juli 1945 tentang dasar dari “Nasionalisme Indonesia” sebagai “kesatuan antara manusia dan tempatnya.” Bab ketiga, Arsitektur Regionalis Nasional, pembahasan setelah 1966, tahun akhir Soekarno yang digantikan oleh rezim Soeharto (1966-1998), yang ternyata sama mengenai ide tentang budaya nasional, yaitu menjaga kesatuan Indonesia melalui sistem terpusat. Bab keempat, Penutup, mempertanyakan keberadaan “arsitektur Indonesia” dengan kasus UI, arsitektur kampus baru UI yang menjadi model untuk ditiru akibat dari sebuah kejadian (baca: kecelakaan): identiknya Soeharto dengan kekuasaan yang mutlak.

Sungguh buku MABKI merangsang kita untuk cermat dan kritis mengenai “Arsitektur Indonesia.”  Pengertian “Arsitektur Imdonesia” berubah-ubah setiap jaman sesuai dengan konteks jadi tidak ada “Arsitektur Indonesia” yang dapat didefinisikan secara mutlak, betapa kenyataan itu sangat telak. Tapi dengan membaca buku ini, kita mendapatkan cakrawala perkembangan “Arsitektur Indonesia,” dimulai dari jaman kolonial ketika para arsitek Belanda berkarya arsitektur di Indonesia, seperti  Ghijsels, Schoemaker, Karsten, dan Pont, serta H.P. Berlage. Mereka memperdebatkan rumusan dan penerapan bagi sebuah “arsitektur modern” di Indonesia. Berikutnya, para cendekiawan Indonesia, sebelum maupun sesudah kemerdekaan, yang memperdebatkan “kebudayaan modern,” yang konteksnya tentu dapat juga diterapkan dalam arsitektur. Sebuah buku untuk pencerahan pengetahuan arsitektur.

Indonesia Design, Vol.5 – No.26 - 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar